Dalam konteks Indonesia pendidikan agama sebagaimana tertuang dalam Peraturan Pemerintah, memiliki fungsi dan tujuan dalam rangka membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya sungguh suatu ironi jika ada yang mengaitkan antara agama dan tindakan radikalisme serta terorisme.
Karena jika menilik dari fungsi dan tujuannya maka sasaran akhir dari pendidikan agama adalah melahirkan peserta didik yang memiliki integritas diri dalam bentuk kekuatan iman yang mengejawantah dalam bentuk kemampuan menjawab tantangan hidup dan mampu berbuat untuk menciptakan kehidupan yang sejahtera di muka bumi yang dalam perspektif Islam sejalan dengan tujuan menghadirkan rahmatan lil ‘alami, yaitu kebaikan-kebaikan ajaran Islam untuk seluruh makhluk yang ada di muka bumi. Dengan kata lain Pendidikan Agama yang diajarkan di sekolah-sekolah khususnya hendaknya mampu mencetak manusia-manusia yang dapat mengambil bagian secara aktif, kreatif, dan kritis dalam membangun diri dan lingkungannya baik dalam skala mikro maupun makro manusia yang dapat memberikan kontribusi dan kebermanfaatan bagi kehidupannya dan orang lain.
Setelah ditelusuri, masalahnya adalah bukan terletak pada ajaran agama yang menyebabkan seseorang berperilaku radikal atau bertindak terror. Karena pada dasarnya secara normatif semua ajaran agama memerintahkan pemeluknya untuk menyebarkan kebaikan. Lalu ajaran agama yang bagaimanakah yang dapat melahirkan pribadi-pribadi yang dapat mendatangkan kebermanfaatan di muka bumi? Menurut Syaikh Yusuf Qardhawi, pendidikan agama yang dapat melahirkan manusia-manusia beriman dan bertakwa serta mampu memberikan kontribusi dan kebermanfaatan dalam kehidupan antar manusia adalah pendidikan agama yang diberikan secara utuh dalam memahami pengetahuan agama serta melalui proses belajar yang tidak indoktriner. Pendidikan agama yang diberikan secara integrated-holistic serta melalui proses pembelajaran yang melibatkan unsur kognitif, afektif dan psikomotor peserta didik secara simultan serta menggunakan metode heart to heart pendidikan dari hati. Dalam konteks Sekolah Islam Terpadu (SIT), pendidikan seperti inilah yang disebut dengan konsep terpadu, yaitu pendidikan yang diberikan secara komperehensif dan kontekstual, melibatkan segenap komponen yang ada dalam lembaga penyelenggara pendidikan seperti seperti kurikulum, proses pembelajaran, tenaga kependidikan dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan di sekolah yang kesemuanya mengacu pada terinternalisasinya nilai-nilai Islam dalam keseluruhan sistem sosial budaya dan pembentukan wawasan intelektual baik nilai-nilai ketauhidan maupun nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang di dalamnya terkandung substansi dari nilai-nilai nasionalisme. Itulah mengapa penulis menyimpulkan bahwa antara pendidikan agama dan nasionalisme memiliki korelasi dengan penanaman nilai-nilai nasionalisme, karena Pendidikan Islam yang secara fundamental berlandaskan Alquran dan hadis sebagai acuannya, mengandung implikasi bahwa dalam prosesnya senantiasa dilandasi oleh nilai-nilai ideal Islam yang goal-nya adalah melahirkan manusia-manusia sempurna (aḥsan al-taqwi<m), dalam arti bertauhid dan bermoral (al-akhlāq al-karīmah) yang dalam terminologi Islam disebut dengan individu yang memiliki karakter rah{matan li< al-‘a<lami<n, sebuah corak pendidikan yang dikehendaki oleh Islam yaitu pendidikan yang mampu membentuk manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kebajikan.
Keterpaduan yang diusung oleh SIT dalam melahirkan manusia-manusia sempurna (aḥsan al-taqwi<m), terlihat ketika sekolah ini tidak hanya concern terhadap pembinaan akademik tapi juga concern terhadap pendidikan moral value. Karenanya sekolah ini dirancang berbasis integrasi antara ilmu sains dan Islam dan menjadikan pendidikan karakter sebagai pilar utama dalam proses penyelenggaraannya. Dalam aplikasinya kemudian, pendekatan penyelenggaraan pendidikannya dengan memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama menjadi satu jalinan kurikulum di mana dengan pendekatan ini, semua mata pelajaran dan semua kegiatan sekolah tidak terlepas dari bingkai ajaran dan pesan nilai Islam baik secara tekstual maupun kontekstual.
Lalu bagaimanakah SIT membumikan konsep pendidikan agama dalam komponen-komponen penyelenggaraan pendidikannya dalam rangka menumbuhkan jiwa nasionalisme dalam konteks kehidupan berbangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang plural? Pada tulisan beikutnya penulis akan memaparkan bagaimana penumbuhan jiwa nasionalisme ditanamkan di SIT dalam komponen written curriculum, hidden curriculum, kegiatan pembiasaan ibadah dan adab islami serta kegiatan pembinaan yang merupakan ciri khas SIT lainnya. —bersambung—